Proyek Waduk Jatigede Menyisakan Setumpuk Masalah Ganti Rugi Lahan
Berbaju hitam, celana hitam. Ada memegang spanduk. Ada membawa
bendera merah putih. Ada pula panci. Mereka ini empat warga Jatigede,
Sumedang, dari 20 Mei-27 Mei 2013, long march, berjalan kaki ke
Jakarta, mencari keadilan. Mereka ingin mengadu kepada Presiden karena
ganti rugi pelepasan lahan untuk pembangunan waduk Jatigede, tak jelas
hingga kini.
Pemerintah berencana mulai menenggelamkan desa-desa itu, September
tahun ini. Di tengah ketidakjelasan ganti rugi pelepasan lahan, warga
dirundung kekhawatiran bahkan stres. Terutama ibu-ibu dan anak-anak.
Masa depan mereka tak jelas ketika nanti rumah, tanah dan ruang hidup
mereka ditenggelamkan.
Pada Rabu (29/5/13), perwakilan warga Jatigede ini bersama Walhi dan
Jaringan Ornop di Jakarta, melaporkan masalah ini ke Komnas HAM. “Komnas
HAM janji akan memanggil pihak-pihak terkait masalah ini,” kata
Suharyana, Desa Tarunajaya, Kecamatan Dharmaraja, Sumedang, Jawa Barat
(Jabar).
Jumat (31/5/13), saya menemui mereka di Sekretariat Walhi Nasional.
Mereka akan aksi simpatik ke berbagai lembaga maupun kementerian terkait
pembangunan ini. Mereka juga ingin menyampaikan keluhan ke Komisi V DPR
tetapibelum mendapat tanggapan dari lembaga ‘wakil rakyat’ itu. Warga
terutama hendak menyampaikan pesan ini kepada Presiden SBY.
“Pemerintah bilang pelepasan lahan sudah selesai. Faktanya, mana?
Banyak belum selesai. Kami ini bukti pelepasan lahan masih banyak
masalah,” kata Kamarudin, warga Desa Cibogo, Kecamatan Dharma Raja,
Sumedang.
Menurut data pemerintah, proyek pembangunan waduk ini akan
menggenangi wilayah seluas 4.973 hektar, mencakup 12 desa di empat
kecamatan. Proyek bernilai investasi mencapai Rp4 triliun ini
ditargetkan selesai September 2013 dengan dukungan dana 90 persen dari
loan Loan Bank Exim China, 10 persen APBN.
Namun, Kamarudin mengatakan, yang bakal terkena dampak waduk itu lima
kecamatan 32 desa. Pemerintah, hanya menghitung sebagian. “Ini Desa
Cibogo, Cikesi, Wado, dan sekitar dibayar. Mulai Desa Cisurat, Padajaya,
Sukakersa, dan sekitar, tanah dibayar, tapi bangunan tidak,. Hanya
sampel 10 bangunan yang dibayar,” kata Kamarudin.
Warga pun menolak pindah karena tak ada kejelasan ini. Mereka ada
sekitar 8.485 keluarga, atau 30 ribuan jiwa dengan luas lahan sekitar
5.000 an hektar. “Pemerintah diskriminasi. September ini rencana mulai
penggenangan. Kami tak akan ke mana-mana, kami akan bertahan walau
ditenggelamkan.”
Proses pelepasan lahan sudah berjalan 30 tahunan, mulai 1982 sampai
saat ini. Aturan proses pelepasan lahan pun sudah berganti-ganti. Dari
Kepres sampai SK Bupati, semua menyisakan masalah. Masalah-masalah itu
antara lain, lahan (mencakup tanah, bangunan dan tanaman) dibebaskan
tapi terlupakan, lahan dibebaskan tapi tertukar nama kepemilikan. Lalu,
lahan dibebaskan ternyata tak sesuai fisik, salah klasifikasi
(seharusnya masuk katagori sawah tapi kategori tanah darat) serta banyak
lagi.
Bukan itu saja, trik-trik nakal dalam pelepasan lahan pun terjadi.
Warga diberi dan diminta menandatangani selembar kertas tertulis nominal
tertentu—yang menandakan nilai aset. Dokumen itu disebutkan sebagai
kesediaan warga melepas lahan. Gilanya, kertas bernilai uang itu tak
dapat diuangkan warga.
Warga dinyatakan melepaskan lahan, tetapi tak bisa mendapatkan uang.
“Ribuan warga menerima kertas seperti ini. Ada tahun 2008, 2009 sampai
2012. Ini contoh punya saya yang 2012,” kata Danuri, warga Desa
Sukakersa, Kecamatan Jatigede, Sumedang.
Dia merasa tertipu. Danuri heran, mengapa pemerintah pusat menyatakan
pelepasan lahan sudah selesai. “Masyarakat akan bertahan sampai titik
darah penghabisan, tak akan melangkah sedikitpun. Karena tidak ada
penyelesaian yang jelas.”
Warga sudah pernah berkirim surat kepada Menteri Pekerja Umum (PU)
menceritakan tentang berbagai masalah ini. Namun, Menteri PU
mendelegasikan kepada gubernur dan membentuk tim khusus atau satuan
tugas terpadu (samsat). “Tapi bukan selesai, malah tambah panjang.
Bahkan di Samsat itu biang masalah. Kini, semua lempar melempar dan
saling lepas tangan.”
Bahkan, warga menemukan fakta nilai ganti rugi jauh-jauh berbeda
antara SK Dirjen Bina Marga, Kementerian PU dan realitas di lapangan.
Dalam SK Dirjen, ganti rugi sawah (Rp3.500 per meter persegi), realisasi
Rp600 per m; darat, SK Dirjen Rp2.000 per m, realisasi Rp414 per m;
tanah pemukiman SK Rp3.500 per m2, relaisasi Rp414 m.
Lalu, bangunan Rp12.000-Rp80.000, realisasi Rp6.599-Rp40.000 per m;
tanaman Rp400-Rp20.000 per pohon, kenyataan Rp200-Rp10.000 per m.
“Kerugian warga rata-rata 89,56 persen,” kata Maulana, warga Desa Wado,
Kecamatan Wado.
Melihat berlarut-larutnya masalah penyelesaian pelepasan lahan ini,
warga pun meminta Presiden turun tangan. “Kami minta Presiden turun
tangan. Bubarkan Samsat karena tidak membantu penyelesaikan kasus.
Justru tambah kacau.”
Menurut dia, di berbagai kesempatan baik di dalam maupun luar negeri,
SBY berpidato ingin mengurangi kemiskinan. “Jika ini tak selesai akan
berbeda dengan keinginan SBY mengurangi kemiskinan. Ini malah
menciptakan kemiskinan baru pada puluhan ribu warga,” ucap Maulana.
Irhash Ahmady, dari Walhi Nasional mengatakan, sejak lama Walhi
mengingatkan bendungan besar sama sekali tidak memberikan hasil baik
bagi rakyat. “Sudah banyak kasus bendungan besar hanya sia-sia, luka
rakyat masih terasa hingga detik ini,” kata Irhash.
Walhi, katanya, sejak dulu konsisten menolak proyek Jatigede, dan
seluruh rencana proyek bendungan besar di Indonesia. “Saya melihat 50
tahun proyek ini berjalan tidak menutup kemungkinan terjadi korupsi
sistemik. Sayang, KPK tidak mampu memeriksa kasus lama karena hukum
korupsi tidak berlaku surut.”
Islah, Manager Air dan Pangan Walhi Nasional menambahkan, dalam
pembangunan proyek DAM besar, pemerintah selalu beralasan memenuhi
kebutuhan pangan dengan meningkatkan sistem irigasi. Faktanya, tidak
menyatakan demikian. “Banyak hanya untuk kepentingan industri dan
memenuhi kebutuhan elit kuasa dan modal negeri ini, sedang rakyat
korban pasti atas pembangunan yang tidak adil.”
Dari situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan, peresmian
rencana pada Februari 2014 karena penutupan pintu pengelak akan
dilakukan pada akhir September. Diperkirakan muka air mencapai puncak
elevasi maksimum waduk pada Februari 2014.
Waduk Jatigede merupakan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Waduk ini terkait erat dengan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), yang akan memberikan manfaat untuk irigasi, air baku, dan
pembangkit tenaga listrik.
Rencananya, waduk akan dimanfaatkan mengairi irigasi 90.000 hektar,
PLTA 10 MW, dan air baku 3,5 meter kubik per detik. Waduk ini juga
untuk pengendalian banjir.
Untuk PLTA, Kementerian PU bekerjasama dengan PT PLN. PU mengerjakan
power intake sepanjang 150 meter dan prasarana termasuk jaringan 20 KV.
PT PLN akan mengerjakan water way, rumah pembangkit dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 KV dan relokasi 70 KV.
Airlangga Marjono, Kepala Satuan Kerja Pembangunan Waduk Jatigede,
Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air (SDA), Kementerian PU membenarkan hambatan pembangunan
waduk ini karena banyak rumah tunggu. Ada sekitar 10.000 unit rumah
tunggu, dengan pemilik meminta ganti rugi per unit Rp5-Rp10 juta. Belum
lagi terdapat 7.500 keluarga tak mau pindah dari lokasi yang akan
digenangi air. Dia mengklaim pembayaran ganti rugi sudah dilakukan
Kementerian PU.