Mungkinkah ini Lebaran Terakhir di Desa Cipaku?
Doc. Dikhabadi |
Sumedang News, Darmaraja - Sebanyak 806 kepala keluarga sepakat menolak rencana pemerintah menggenangi Waduk Jatigede pada tanggal 1 Agustus 2015 mendatang. Para kepala keluarga ini mewakili 2.200 jiwa yang tinggal di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Pembangunan waduk yang digagas sejak era Presiden Soekarno ini meliputi kawasan 28 desa di 5 kecamatan. Desa Cipaku merupakan satu dari delapan desa yang akan tenggelam akibat penggenangan.
Konsolidasi warga berlangsung selepas salat Idul Fitri 1436 Hijriah di Lapangan Cipaku, Jumat, tanggal 17 Juli 2015 lalu.
Sejak diresmikan pada era 1980-an, lapangan itu baru sekali digunakan untuk kegiatan salat Idul Fitri. "Sekarang kita pakai lagi karena ada hal penting yang menjadi perhatian kita semua," kata Kepala Desa Cipaku Didi Nurhadi seraya menambahkan salat itu biasanya digelar di masjid masing-masing dusun.
Lapangan yang berada di tengah-tengah petakan sawah itu menjadi ramai. Bentang alam di sana, mirip gaya lukisan mooi indie yang menggambarkan keindahan alam dengan bentangan gunung dan sawahnya. Keindahan itu jadi semarak dengan kehadiran warga yang datang dari berbagai arah mata angin.
Mereka berjalan beriringan membentuk barisan. Tertib. Tidak ada yang menyerobot antrian. Yang kurang sabar, biasanya akan turun dari pematang untuk melintasi sawah.
Selepas salat Idul Fitri, Nurhadi mengumumkan rencana pemerintah terkait penggenangan waduk. "Semoga ini tidak jadi Lebaran terakhir di Cipaku," kata Nurhadi membuka pidatonya.
"Saat ini sudah ada 3.000 tanda tangan penolakan penggenangan dari seluruh desa. Semua desa menolak digenangi selama permasalahan rakyat belum diselesaikan. Itu kesepakatan kita," ujar Nurhadi yang menjabat sebagai Ketua Forum Kepala Desa di sana.
Saat ini, ungkap Nurhadi, perjuangannya sudah bukan di tangan kepala desa. Sebelumnya, Nurhadi menahan formulir pemberian uang santunan dan ganti rugi di kantor desa.
"Hanya Desa Cipaku yang berkasnya belum dibagikan. Saya dipanggil keamanan, dikriminalisasikan, tidak boleh menahan berkas. Kemarin kelompok kerja lapangan berkumpul dan sepakat berkas itu akan dibagikan karena itu hak bapak-bapak dan ibu-ibu," terang Nurhadi. Ia menambahkan, tanggung jawabnya saat ini adalah memperjuangkan keinginan warga agar pemerintah menyelesaikan semua permasalahan sosial dampak pembangunan waduk.
"Yang punya hak menolak itu ibu-ibu dan bapak-bapak bukan kepala desa," katanya.
Tuntutan warga terkait penggenangan itu adalah meminta hak-haknya dipenuhi oleh pemerintah. Apalagi pada saat pertama kali dilakukan pembebasan lahan era 1980-an, pemerintah membayar harga tanah dan rumah warga di bawah harga yang seharusnya atau NJOP (nilai jual objek pajak). Selain itu, warga juga menuntut hak relokasi atau berpindah dari lokasi sekarang ke tempat yang baru.
"Kita masih menuntut kepada pemerintah Jokowi untuk direlokasikan dengan perikemanusiaan. Kami bukan domba, bukan binatang. Sampah saja ada tempatnya, masyarakat harus direlokasikan dengan perikemanusiaan," tegasnya.
Nurhadi memaparkan di wilayahnya ada 550 jiwa yang tidak mendapatkan hak relokasi dalam catatan pemerintah. "Selama tuntutan kita semua belum dikabulkan pemerintah, maka kita semua akan tolak pembendungan 1 Agustus 2015," ujar Nurhadi lagi.
Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Namun di dalamnya, urusan permukiman baru diselesaikan dengan cara pemberian uang tunai. Besarannya ditetapkan menjadi dua kelompok, ada yang menerima Rp 122 juta dan ada yang menerima Rp 29 juta. Uang itu termasuk dengan penggantian bangunan, pengadaan tanah, serta tunjangan kehilangan pendapatan.
Pemerintah membedakan nominal uang tunai tersebut berdasarkan pengelompokan penduduk. Ada yang masuk dalam kewajiban pemerintah saat terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 15 Tahun 1975 sebanyak 4.541 kepala keluarga yang mendapatkan uang tunai Rp 122 juta. Sementara sisanya, sebanyak 6.410 kepala keluarga masuk dalam kewajiban pemerintah untuk memindahkan penduduk berdasar Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2010.
Ici (56), warga Dusun Babakan, Desa Cipaku mengatakan, dirinya tidak mau menerima uang dari pemerintah tersebut. "Uang Rp 29 juta, buat apa? Beli bala-bala?" tegasnya. Ia menambahkan yang paling penting bagi dirinya adalah kepastian buat melanjutkan hidup di tempat yang baru.
Kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan unsur perikemanusiaan ini mendapat kritik tajam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Direktur LBH Bandung Arip Yogiawan mengatakan, saat ini pihaknya masih menanti hasil peninjauan kembali terhadap Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 dari Mahkamah Agung. "Kita berharap pemerintah mau menyelesaikan penanganan masalah sosial, ekonomi, dan budaya sebelum dan setelah penggenangan. Harus manusiawi," ujar Arip.
Seharusnya, ungkap Arip, saat meminta orang pindah ke tempat yang baru, pemerintah juga memastikan adanya jaminan keberlangsungan hidup seperti pekerjaan, lahan garapan, serta pendidikan anak. "Profesi mereka bertani. Kalau dipindah ya tentu harus bisa bekerja kembali sebagai petani bukan alih profesi yang tidak jelas," tuturnya.
Berkaca dari banyaknya permasalahan sosial yang belum tuntas ini, Nurhadi berharap pemerintah mau menunda penggenangan waduk. "Kami tidak antipembangunan tapi minta agar pemerintah memanusiakan kami," ujar Nurhadi.
Adi Marsiela/PCN
Suara Pembaruan
Sumber : http://www.beritasatu.com/nasional/292609-lebaran-terakhir-di-desa-cipaku.html