Gagalnya Pemindahan PKL Alun-alun Sumedang karena Kurangnya Perencanaan
Sumedang News - Gagalnya pemindahan dan penempatan PKL (Pedagang Kaki Lima) dari Alun-alun Sumedang ke Tahura (Taman Hutan Rakyat) Gunung Kunci di Kec. Sumedang Selatan, akibat buruknya perencanaan yang dilakukan dinas terkait. Dinas terkait tersebut, yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Satpol PP dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kab. Sumedang.
Penyebab lainnya, di antara keempat dinas dan instansi terkait itu tidak menjalankan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) sesuai bidang garapannya masing-masing. Bahkan terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Akibatnya, para pedagang yang menjadi korbannya. Karena salah penempatan lokasi, sehingga para pedagang enggan mengisi lapak yang disediakan pemda karena tempatnya sepi. Pemindahan para pedagang dari Alun-alun ke Gunung Kunci ini, cenderung dibuang dan diusir. Kasihan para pedagang. Mereka berjualan sekedar untuk menyambung hidup anak istrinya,” kata Pemerhati PKL Sumedang, Azis Hidayat ketika ditemui di Tahura Gunung Kunci, Kec. Sumedang Selatan, Rabu (26/3/2014).
Menurut dia, pemindahan PKL dari Alun-alun ke Tahura Gunung Kunci oleh BLH, tanpa perencanaan yang matang dan kurang koordinasi dengan dinas lainnya. Pemindahannya tanpa memperhitungkan tempat yang cocok untuk berjualan para PKL. Selain di Gunung Kunci sepi pengunjung, juga lokasinya kurang strategis karena berada di jalur lintasan Bandung-Cirebon. “Yang namanya pemindahan PKL, harus ke tempat yang ramai,” kata Azis.
Kesalahan lainnya, kata dia, pemindahan PKL oleh BLH dinilai tidak tepat karena bukan tupoksinya. Meski PKL berjualan di sekitar Alun-alun di bawah pengelolaan BLH, namun tugas pemindahan dan pembinaannya harus oleh Disperindag. “BLH justru sebagai penerima manfaat dari pemindahan PKL tersebut. BLH tahunya taman Alun-alun sudah bersih dari PKL. Setelah itu, baru lah BLH mengelola dan menata alun-alun dengan baik,” katanya.
Kenyataannya, kata dia, di luar tugasnya, BLH malah yang melakukan pemindahan sekaligus membangun kios dan lapak para PKL dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) Bank Jabar Rp 300 juta. Ketika terjadi masalah para PKL enggan mengisi lapaknya karena tempatnya sepi, BLH malah angkat tangan. Dengan dalih, pascapemindahan PKL ke Gunung Kunci, menjadi tanggungjawab Dishutbun. Sebab, Tahura Gunung Kunci di bawah pengelolaan Dishutbun. Kesalahan terulang lagi, Dishutbun harus membina dan mengelola PKL yang bukan tupoksinya.
“Makanya tak heran, masalah PKL di Gunung Kunci sampai sekarang tak ada jalan keluarnya hingga pedagang yang menjadi korbannya. Bahkan anggaran Rp 300 juta yang sebagian besar dipakai pemindahan dan pembangunan kios dan lapak di Gunung Kunci, jadi mubazir. Anggaran sebesar itu terbuang percuma,” tutur Azis.
Ia menambahkan, meski Dishutbun akan membuat arena outbond, flaying fox dan rumah pohon dengan anggaran Rp 1miliar untuk menarik pengunjung, belum tentu berhasil. Itu tergantung pengelolaanya juga.
“Oleh karena itu, semua dinas terkait harus mengkaji ulang pemindahan dan penempatan PKL dari Alun-alun ini. Termasuk pemindahan PKL pasar kaget dari Alun-alun ke Lapangan Pacuan Kuda di Kec. Sumedang Utara, juga bermasalah seperti di Gunung Kunci,” ucapnya.
Penyebab lainnya, di antara keempat dinas dan instansi terkait itu tidak menjalankan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) sesuai bidang garapannya masing-masing. Bahkan terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Akibatnya, para pedagang yang menjadi korbannya. Karena salah penempatan lokasi, sehingga para pedagang enggan mengisi lapak yang disediakan pemda karena tempatnya sepi. Pemindahan para pedagang dari Alun-alun ke Gunung Kunci ini, cenderung dibuang dan diusir. Kasihan para pedagang. Mereka berjualan sekedar untuk menyambung hidup anak istrinya,” kata Pemerhati PKL Sumedang, Azis Hidayat ketika ditemui di Tahura Gunung Kunci, Kec. Sumedang Selatan, Rabu (26/3/2014).
Menurut dia, pemindahan PKL dari Alun-alun ke Tahura Gunung Kunci oleh BLH, tanpa perencanaan yang matang dan kurang koordinasi dengan dinas lainnya. Pemindahannya tanpa memperhitungkan tempat yang cocok untuk berjualan para PKL. Selain di Gunung Kunci sepi pengunjung, juga lokasinya kurang strategis karena berada di jalur lintasan Bandung-Cirebon. “Yang namanya pemindahan PKL, harus ke tempat yang ramai,” kata Azis.
Kesalahan lainnya, kata dia, pemindahan PKL oleh BLH dinilai tidak tepat karena bukan tupoksinya. Meski PKL berjualan di sekitar Alun-alun di bawah pengelolaan BLH, namun tugas pemindahan dan pembinaannya harus oleh Disperindag. “BLH justru sebagai penerima manfaat dari pemindahan PKL tersebut. BLH tahunya taman Alun-alun sudah bersih dari PKL. Setelah itu, baru lah BLH mengelola dan menata alun-alun dengan baik,” katanya.
Kenyataannya, kata dia, di luar tugasnya, BLH malah yang melakukan pemindahan sekaligus membangun kios dan lapak para PKL dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) Bank Jabar Rp 300 juta. Ketika terjadi masalah para PKL enggan mengisi lapaknya karena tempatnya sepi, BLH malah angkat tangan. Dengan dalih, pascapemindahan PKL ke Gunung Kunci, menjadi tanggungjawab Dishutbun. Sebab, Tahura Gunung Kunci di bawah pengelolaan Dishutbun. Kesalahan terulang lagi, Dishutbun harus membina dan mengelola PKL yang bukan tupoksinya.
“Makanya tak heran, masalah PKL di Gunung Kunci sampai sekarang tak ada jalan keluarnya hingga pedagang yang menjadi korbannya. Bahkan anggaran Rp 300 juta yang sebagian besar dipakai pemindahan dan pembangunan kios dan lapak di Gunung Kunci, jadi mubazir. Anggaran sebesar itu terbuang percuma,” tutur Azis.
Ia menambahkan, meski Dishutbun akan membuat arena outbond, flaying fox dan rumah pohon dengan anggaran Rp 1miliar untuk menarik pengunjung, belum tentu berhasil. Itu tergantung pengelolaanya juga.
“Oleh karena itu, semua dinas terkait harus mengkaji ulang pemindahan dan penempatan PKL dari Alun-alun ini. Termasuk pemindahan PKL pasar kaget dari Alun-alun ke Lapangan Pacuan Kuda di Kec. Sumedang Utara, juga bermasalah seperti di Gunung Kunci,” ucapnya.